kocomripat

Kecil jadi Besar, Jauh jadi Dekat, Jauh-Dekat 3000..

Kepala Batu dan Sepasang Mata Arabika


coffee

Satu.. dua..

Taruhan, dalam hitungan lima detik, tiga anak muda yang berjalan ke arahku sekarang pasti akan membujukku mengikuti mereka. Ke mana? Tunggu saja.

Empat.. Lima..

“La, ngopi, yuk!”

Benar, kan? Aku menang.

Aku memandangi ketiganya dengan senyum datar. Rupanya mereka masih belum kapok mengajak orang yang mungkin lebih mirip batu karena kepalanya terlalu keras ini. Tentu saja, ajakan mereka tak membuahkan hasil, meski dengan hasutan kalau “laki-laki harus minum kopi.” Mungkin karena kopi lebih terlihat “keras” dibanding teh yang lembut. Ah, teori siapa juga itu.

Kalau sekedar minum kopi, sebenarnya mereka tak perlu jauh-jauh mencari. Apalagi menempuh perjalanan dari Sukolilo hingga ke daerah Darmo. Di belakang kampus juga cukup banyak warung yang menyajikan kopi. Tapi mungkin yang mereka cari bukan sekedar kopi, atau kelas mereka memang beberapa tingkat lebih tinggi.

Warung pinggiran di belakang kampus tak punya kopi berkualitas wahid dari penjuru nusantara. Proses penyajiannya pun sekedarnya, hanya diseduh air panas dari ceret yang karatan dan diaduk bersama gula pasir tanpa merek. Soal tempat juga menjadi pertimbangan, karena tak layak dibidik kamera dan dipamerkan di media sosial. Berbeda dengan coffee shop mahal yang bergaya industrial, vintage, retro, hingga bohemian berwarna-warni. Dan satu lagi, tempat-tempat itu punya suhu yang berbeda dengan warung pinggiran, tak lebih dari 23/24 derajat Celcius. Udara sejuk memang ideal untuk menikmati kopi. Siapa juga yang sudi menyesap kopi di Surabaya yang panas seperti ini?

Bbrr… baling-baling kipas angin mulai berputar dan mengeluarkan suara berisik ketika kutekan tombol di bawahnya. Sementara mereka menikmati kopi di suhu tak lebih dari 23 derajat Celcius, aku cukup lega dibelai angin dari baling-baling kipas tua di dalam kamar kost.

Sampai mana kita tadi? Ah, kopi. Nama yang beberapa tahun belakangan tak bosan jadi bahan perbincangan. Rasanya semua anak muda, terutama laki-laki, sedang menggandrungi kopi. Entah karena memang gemar dengan rasanya, atau hanya agar terlihat trendi. Sedang aku, bukan termasuk jajaran pria penggemar kopi. Kalau sekedar pahit, masih bisa ditutupi dengan gula. Tapi ada rasa lain yang tak bisa kusingkirkan, bahkan setelah sesapan terakhir usai. Satu menit, lima menit, bahkan hingga tiga puluh menit, rasa itu masih tertinggal karena begitu kuatnya. Satu lagi, aku tak suka aroma mulutku setelah meminum kopi. Bisa disimpulkan kalau aku memang bukan penggemar kopi. Tapi..

Tiba-tiba saja jemariku membuka nakas kayu mahoni di sisi tempat tidur, mengeluarkan sebuah stoples dan penggiling kopi dari laci teratas. Kuamati stoples kedap udara di tanganku, rasanya tak lebih dari 10 gram biji kopi yang tertinggal. Apa boleh buat, semuanya masuk ke dalam penggiling manual murah yang sudah hampir 4 tahun ini menemani. Merasa sudah cukup, kuhentikan putaran tuas dan membuka laci di bawah gilingan. Hmm.. harum aromanya semerbak meski belum diseduh, berbaur dengan bau tembakau yang cukup kuat. Air dalam ketel listrik rupanya sudah mendidih. Tanpa perlu menunggu, kutuang perlahan dalam cangkir berisi bubuk kopi yang baru saja kugiling.

Kutegaskan kembali, aku bukan penggemar kopi. Tapi ini pengecualian, aku tak bisa menolaknya, ada yang berbeda dari biji-biji kopi ini. Ya, mungkin terdengar seperti pembelaan dari seseorang yang mirip batu dengan kepala keras.

“Mas.. Mas Gala.” Suara di depan pintu kamar.

Ah, belum juga kunikmati sesapan pertama, sudah ada yang menginterupsi. Sedikit malas, aku menyeret kedua kakiku menuju pintu.

Welly, penghuni kamar di sebelahku menyembulkan kepala begitu pintu kubuka. “Eh, Mas.. ini tadi ada kiriman waktu Mas masih di kampus,” ujarnya sambil memberikan sebuah bungkusan berwarna coklat.

Melihat nama pengirimnya, kesalku karena interupsi Welly tiba-tiba menguap. Kiriman yang datang di saat yang tepat, ketika biji-biji kopiku sudah tak bersisa. Sebenarnya tanpa dibuka pun aku sudah tahu apa isi kiriman itu, jadi sengaja kubiarkan dulu saja.

Perhatianku beralih pada cangkir kopi yang asapnya masih mengepul di hadapanku. Kuhirup aromanya. Paduan aroma kopi yang segar dan karamel yang tipis. Sesapan pertama, ada citarasa tembakau yang tertinggal dan rasa karamel di balik sedikit rasa pahit. Perlahan rasa rileks menjalar di leher dan kepala. Begitu menenangkan, seolah dibawa terbang ke kaki gunung dengan hamparan pohon kopi di sela-sela tanaman tembakau. Biji-biji kopi arabika kate sebesar kelereng yang berwarna merah tampak berkilauan, seperti sepasang mata yang sudah hampir empat tahun ini tak kulihat.

Cukup. Bukan waktunya melamun. Sebaiknya kubuka paket kiriman agar stoplesku tak lagi kosong. Seplastik besar biji kopi yang sudah disangrai tampak berkilat di dalam kotak. Tapi ada yang tertinggal di dasar kotak, secarik kertas dengan sebaris tulisan.

“Mungkin ini akan jadi kiriman terakhir.”

Sebaris kalimat yang berhasil menghancurkan rasa kopi yang sempurna. Aku curiga, kalimat ini adalah taktik terakhir untuk membuatku kembali. Mungkinkah ini waktunya?

Sebelum aku menemukan jawaban, tanganku sudah mengemas beberapa baju ke dalam ransel. Dan tanpa perlu meyakinkan diri, kutinggalkan kamar kost yang masih beraroma kopi dan tembakau. Ya, mungkin memang sudah waktunya.

Langit cukup bersahabat saat ojek yang memboncengku mulai menanjak. Dari kejauhan, Gunung Sumbing dan Sindoro tampak berdampingan mesra. Hawa sejuk pun mulai menyergap ketika motor memasuki lereng Gunung Sindoro. Tlahab, begitu kami menyebutnya. Desa yang belasan tahun lalu mengalami kerusakan dan degradasi tanah akibat lahan pertanian terbuka dengan sistem monokultur. Dulu, petani-petani di desa kami hanya mau menanam tembakau yang memang tersohor sebagai hasil bumi Temanggung dan menguntungkan dari segi ekonomi, namun sayangnya merugikan dari segi lingkungan. Tak ada tanaman keras di lahan pertanian kami, lereng Sindoro pun terancam erosi dan kritis karena mengandalkan tanaman musiman saja.

Hingga datanglah ide untuk menanam kopi sebagai selingan di sela-sela tanaman tembakau. Karena sifat kopi yang mudah menyerap aroma di sekitarnya, jadi tak perlu heran kalau kopi-kopi di Temanggung beraroma tembakau. Sistem tumpang sari atau diversifikasi dengan tanaman kopi ini dimaksudkan untuk mencegah laju erosi. Dan lihatlah kini, lereng Sindoro menghijau, pohon-pohon kopi arabika tumbuh subur di ketinggian 1200-1500 mdpl. Ya, di tempat inilah aku tumbuh, bersama pucuk-pucuk daun tembakau dan biji kopi yang berpadu kasih.

Laju motor berhenti di depan halaman sebuah rumah. Rupanya tak banyak yang berubah. Bahkan warna cat rumah ini pun masih sama. Dan bunga ganyong berwarna merah masih berbaris cantik di balik pagar.

“Mas Gala!” teriak seorang gadis dari balik pintu.

Bluk.. gadis itu tiba-tiba menubrukku, mendekap dengan pelukan yang hangat. Dalam kondisi normal, adegan ini seharusnya bisa membuatku rileks, tapi tidak demikian. Aku justru menjadi kikuk, tubuhku kaku. Bagaimana bisa perempuan ini masih menyisakan senyuman dan dekapan hangat setelah aku meninggalkannya empat tahun lalu. Ya, seperti itulah dia.

Puspanyidra, nama gadis manis itu. Namanya diambil dari bahasa jawa yang berarti bunga ganyong, tumbuhan umbi dengan bunga berwarna merah, kuning, atau oranye yang berasal dari suku kana-kanaan (Canna Edulis).

“Kenapa itu jadi kiriman terakhir?” tanyaku tiba-tiba saat kami baru saja duduk di kursi teras.

Puspa hanya tersenyum, ia mengalihkan pandangan ke deretan bunga ganyong yang merekah sempurna.

“Aku bikinkan kopi, ya, Mas. Eh, kebetulan, tadi aku ngukus ganyong,” ujarnya sambil berlari masuk ke dalam rumah.

Puspa pertama kali datang ke rumah ini sekitar tujuh tahun lalu, hanya satu tahun berselang sejak bapak meninggal. Dia datang bersama ayahnya, yang juga menjadi ayah tiriku, karena Ibu rupanya membutuhkan seseorang untuk membantunya mengurus kebun tembakau dan kopi. Kala itu ia masih duduk di kelas 3 SMP, selisih satu tahun di bawahku.

Berbeda denganku, Puspa sangat menggemari kopi. Bahkan sejak kedatangannya pertama kali ke rumah ini, ia sudah menunjukkan gejala sebagai penikmat kopi akut. Alasannya menyukai kopi terlalu dewasa untuk ukuran anak SMP. Menurutnya, kopi bisa melonggarkan pikiran, membuatnya bergairah dan bersemangat, seperti ketika ia menemukan sebuah buku yang bagus.

Ia selalu membuntuti Ibu ketika panen kopi tiba, memperhatikan bagaimana cara memanggang biji-biji kopi di atas wajan dan tungku. Dan hanya dalam hitungan bulan, ia mulai menunjukkan kemahirannya sebagai seorang roaster, padahal usianya baru belasan tahun.

Aku suka memperhatikannya di depan tungku waktu sedang menyangrai biji kopi. Ia menggunakan ketiga inderanya, mata untuk melihat warna biji kopi, telinga untuk mendengar biji yang bergemeretak ketika matang, dan hidung untuk mencium aromanya. Ia pun berhasil membujukku minum kopi buatannya, hingga saat ini. Hal yang tidak bisa dilakukan oleh ibu ataupun bapak semasa hidupnya.

Hingga ia lah yang akhirnya menjadi penerus ibu ketika beliau meninggal empat tahun lalu. Seharusnya aku yang mengambil alih tugas itu, mengurus kebun, memasarkan biji-biji kopi. Tapi aku terlalu egois dan memilih lari ke kota lain dengan dalih meneruskan kuliah. Belasan tahun hidup berdampingan dengan kopi tak lantas membuatku menggemarinya. Dan aku tak tahu apa yang harus kulakukan ketika aku harus meneruskan usaha yang sudah dirintis bapak puluhan tahun lamanya. Namun alasan utama yang membuatku meninggalkan Puspa sebenarnya…

“Nih, Mas, ganyongnya masih anget. Tapi kopinya belum digiling.” Puspa duduk di sampingku sambil meletakkan sepiring ganyong kukus di meja.

Kami berdua larut dalam diam. Ganyong kukus dengan asap yang masih mengepul tak mampu menghangatkan kebekuan kami. Berselang beberapa menit, Puspa pun bersuara.

“Mas sekarang bisa pulang ke rumah ini,” ucapnya sambil tersenyum.

Aku menghujaninya dengan pandangan penuh tanda tanya yang tak mampu kuucapkan. Bola matanya masih berkilauan, seperti biji kopi arabika kate sebesar kelereng yang berwarna merah menyala.

“Dulu Mas pergi karena aku dan ayah, kan?” Puspa melanjutkan ucapannya.

Ah, rupanya dia tahu. Sejak ibu meninggal, aku seolah tak punya alasan lagi untuk tinggal di rumah ini, bersama dua orang asing yang tak ada hubungan darah denganku. Aku hanya tak ingin menjadi beban hidup keduanya, meski nyatanya aku justru melimpahkan beban yang berlipat pada Puspa. Ia baru berusia 17 tahun saat itu, tapi aku sudah meninggalkannya dengan setumpuk pekerjaan mengurus kebun dan mengolah hasil panen.

Tapi Puspa bersikeras untuk meneruskan usaha bapak dan merelakanku pergi. Ia pun rutin mengirim biji-biji kopi pilihan yang disangrainya sendiri padaku, mungkin dengan maksud untuk membujukku pulang meski hanya sebentar. Tapi aku tak punya keberanian menghadapinya, rasanya sama seperti mengakui keegoisanku sendiri. Terlebih karena bukan hanya biji kopi yang rutin ia kirimkan, melainkan uang hasil penjualan tembakau dan kopi yang juga dikirimkan ke rekeningku. Beasiswa dari kampus memang cukup membiayai kuliah sampai beberapa semester, tapi untuk biaya hidup, aku masih bergantung padanya, gadis bermata biji kopi yang tak pernah kehilangan senyuman.

“Sekarang ayah sudah kawin lagi dan nggak tinggal di sini,” ucapan Puspa membuyarkan lamunanku.

“Mulai kapan? Jadi kamu tinggal sendiri? Yang bantu ngurus kebun?” Tiba-tiba saja deretan pertanyaan itu meluncur dari bibirku.

Puspa menyunggingkan senyum. Ia memasukkan biji-biji kopi ke dalam penggiling manual tua di atas meja. Perlahan tangannya mulai memutar tuas, menghancurkan biji-biji kopi menjadi serpihan. Aroma itu pun kembali menyeruak dan menyerbu indera penciuman, membuat pikiranku tak fokus.

Puspa menghentikan putaran tangannya. “Semua baik-baik aja, kok, Mas. Tapi mungkin ini jadi panen terakhir.”

“Kenapa?”

Tanpa menjawab pertanyaanku lebih dulu, Puspa beranjak masuk ke dalam rumah, lalu kembali membawa dua cangkir dan ceret berisi air panas. Perlahan ia menuangkan air ke dalam cangkir berisi bubuk kopi yang baru digilingnya. Aroma itu lagi..

“Bulan depan aku nikah, Mas.”

Aroma kopi dan tembakau yang biasanya membuat rileks kini tak mampu menenangkanku.

“Aku ikut suamiku ke Semarang, nggak bisa ngurus kebun dan kopi-kopi ini lagi.” Puspa menunduk, dengan senyuman yang terasa dipaksakan.

“Mas tentu nggak mungkin ngurus kebun, mungkin nggak sekarang. Tapi nanti kalau kuliah sudah selesai, Mas bisa pulang ke sini,” lanjutnya sambil memutar-mutar cangkir kopi di depannya.

Sebenarnya aku pun tak keberatan kalau kebun ini tak lagi ada atau diurus oleh orang lain. Yang membuatku berat adalah kepergiannya.

“Nggak apa-apa. Kebun ini dijual saja, atau biar diurus orang lain,” ucapku datar.

Puspa sedikit terlonjak mendengar ucapanku. “Mas yakin? Nggak sayang?”

“Sayang apa?”

“Mm.. kebun ini kan warisan bapak. Pasti banyak kenangannya,” ujarnya khawatir.

Aku mendengus pelan. “Kamu sudah merawat kenangan dengan baik, Puspa. Sekarang waktunya melepaskan kenangan.”

Puspa rupanya tak mengerti dengan ucapanku. Ia hanya terdiam dengan alisnya yang mengernyit heran. Kuambil cangkir kopi di depanku, berharap bisa merasa sedikit tenang dengan sihirnya. Puspa memandangiku penuh harap. Entah apa yang diharapkannya.

Seperti yang kubilang di awal, aku bukan termasuk penggemar kopi. Tapi ini pengecualian, aku tak bisa menolaknya, ada yang berbeda dari biji-biji kopi ini. Aroma yang membangkitkan kenangan. Tapi bukan kenanganku bersama bapak, melainkan kenanganku bersama gadis di sampingku yang sebentar lagi akan pergi.

Aromanya masih sama. Perpaduan kopi yang segar dan karamel, dengan citarasa tembakau yang cukup kuat, manis yang pas di balik sedikit rasa pahit.

“Gimana, enak?” tanya Puspa menanti reaksiku setelah sesapan pertama.

Aku mengangguk. “Enak, masih sama. Kamu memang bakat jadi roaster.”

Puspa terkikik, menahan tawa dengan telapak tangannya.

“Mmm.. sebenarnya, ya, Mas. Itu bukan aku yang roasting.”

Ucapan Puspa hampir saja membuatku menyemburkan kopi ke mukanya.

“Aku beli dari Pak Rustam yang rumahnya di bawah itu,” bebernya dengan wajah memerah.

Aku bergantian memandang wajahnya dan cangkir kopi di genggamanku. Dia pasti bercanda.

“Mas, sudah waktunya kamu buka hati.”

Sekali lagi, ucapan Puspa membuatku kehilangan kendali. Hampir saja aku melemparnya dengan ganyong.

“Buka hati apa?”

Puspa melayangkan pandang ke hamparan pohon kopi tak jauh di depan kami.

“Buka hati untuk kopi lain, karena bukan cuma kopiku aja yang enak. Buktinya tadi Mas bilang kopi Pak Rustam enak, kan?”

Aku menarik napas lega. Mungkin memang saatnya aku membuka hati untuk kopi yang lain, dan untuk orang selain gadis bermata biji kopi ini.

Selesai

*Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory. Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com.

ilustrasi2c

Leave a comment