kocomripat

Kecil jadi Besar, Jauh jadi Dekat, Jauh-Dekat 3000..

Struggle


sunset2Debur ombak memecah bibir pantai, semilir angin berhembus malu-malu. Langit hitam pekat, tak satu pun bintang yang terlihat. Mendung, semoga tidak hujan. Dari kejauhan di tengah laut tampak cahaya-cahaya kecil yang berkedip, terombang-ambing oleh gelombang pasang. Bintang di tengah laut?

Saya percaya bahwa setiap perjalanan selalu menyisakan makna, tak hanya sekedar memberi kenangan, tapi juga sebagai bahan renungan. Tak peduli apakah itu perjalanan ke pantai, hutan, atau bahkan sekedar ke warung gorengan dekat rumah. Kalau cermat, pasti tak akan ada makna yang terlewat.

Selesai menikmati jagung bakar, saya dan keempat kawan beranjak ke bangku di samping tenda. Sementara 7 orang kawan lainnya sibuk bermain kartu di meja sebelah, kami berlima hanya mengobrol santai sambil menikmati semilir angin malam di pinggir pantai. Berharap menemukan kilau bintang, saya menengadah ke atas. Sayang, mendung rupanya telah mengambil alih langit malam itu. Pandangan saya tertumbuk ke tengah laut. Tampak berjajar cahaya kecil yang berkedip di kejauhan. Bintang? Tentu bukan.

“Urip iku soro rek,” celetuk saya tiba-tiba, sembari terus menatap ke cahaya kecil di tengah laut. Tak ada maksud sedikitpun untuk mengeluhkan hidup yang luar biasa berwarnanya ini. Hanya saja batin ini sedikit terusik kala melihat cahaya kecil di tengah laut itu. Bukan bintang atau mercusuar, hanya perahu kecil nelayan yang terombang-ambing di tengah laut pasang untuk mencari tangkapan.

“Tit-tot.. Tit-tot..” terdengar sebuah suara yang tak asing, bersaing dengan debur ombak. Terompet? Masih terlalu dini untuk menyerukan terompet pergantian tahun. Suara itu pertama kali saya dengar tadi sore sewaktu baru sampai di tempat ini. Beberapa jam telah berlalu, rupanya ia masih belum beranjak pulang.

Pantai dan cilok, baru kali ini saya temukan. Pantai ini memang cukup dekat dengan tempat tinggal penduduk. Mungkin juga penjual cilok itu adalah salah satu penduduk di sana. Tapi haruskah ia berjualan malam hari, tengah malam, bahkan hingga dini hari? Oh, ya, tadi ada seorang kawan yang berujar kalau cilok di pantai ini buka selama 24 jam, tak kalah dengan Alfamart.

Bicara soal 24 jam, ada lagi layanan yang menawarkan jasanya dalam waktu yang sama, kamar mandi. Ah, tentu, karena hasrat buang air kecil tak mengingat waktu. Kalau hanya kamar mandi saja, mungkin akan biasa, tapi kalau ada petugasnya yang terjaga selama 24 jam?

><

Setelah beberapa jam memejamkan mata, saya pun terbangun dan beranjak keluar tenda. Pukul 4 pagi. Di luar matahari masih belum terlihat, mungkin sebentar lagi. Tak bisa menahan lagi, saya buru-buru melangkahkan kaki, menyusuri jalanan berpasir dengan penerangan seadanya. Aroma kemenyan menusuk hidung. Saya melirik ke sekumpulan orang yang sedang beratraksi. Ah, rupanya ini yang mengganggu tidur saya semalam. Jaranan! *kuda lumping*

Jemari saya merogoh saku celana dan mengambil selembar uang dua ribu. Saya serahkan pada seorang lelaki yang tampak kuyu tak mampu menahan kantuk, penjaga toilet 24 jam. Mungkin ia kedapatan shift sore-subuh, meski rupanya tebakan saya salah, karena waktu berkunjung kembali ke tempatnya pukul 6 pagi ia masih setia menunggu di sana.

Matahari masih mengintip ragu di balik gumpalan awan. Pagi masih belum sempurna ketika seorang lelaki paruh baya berjalan ke daratan dengan membawa sebilah tombak. Mungkin ia baru saja pulang dari menangkap gurita.

Mendung semalam rupanya masih enggan beranjak dari langit pagi itu. Bahkan ia menghadiahkan hujan rintik yang berhasil membuat kami berlarian mencari tempat berteduh, meninggalkan istana pasir buatan saya dan seorang kawan yang bentuknya lebih mirip nasi kotak.

Mendung telah berlalu, tapi badai belum berlalu. Seorang kawan yang menjadi tumpangan saya rupanya kehilangan kunci motor. Meski harapannya tipis, tapi kami tetap berusaha mencari kunci dalam jerami (red: pasir). Saya pun mencoba menyusur bibir pantai dari ujung ke ujung, tapi hasilnya nihil. Hingga akhirnya diputuskan ia akan mengambil kunci cadangan yang diantar keluarganya ke desa terdekat.

Sembari menunggu ia kembali membawa kunci motor, saya dan 3 orang kawan menyusuri pantai-pantai lain di balik karang. Hanya 2 pantai yang terlampaui, karena khawatir kawan kami sudah kembali membawa kunci, mengingat perjalanan yang harus ditempuh hingga pantai ke-5 menghabiskan satu jam lebih.

Dalam perjalanan kembali ke pantai utama….

“Tit-tot.. Tit-tot..”

Seketika pandangan saya tertuju pada seorang penjual cilok dengan sepeda motor yang diparkir di ujung jalan, di atas tempat kami berdiri. Rupanya ia masih belum juga beranjak sejak sore kemarin. Atau bisa saja ia penjual cilok yang lain, ganti shift mungkin? “Struggle”, ujar seorang kawan tiba-tiba.

Struggle, ya, mungkin kata ini yang tepat untuk menggambarkan makna perjalanan saya dan ke-11 kawan saya minggu lalu. Bukan hanya struggle karena perjalanan yang cukup membuat bokong panas, tetapi melihat bagaimana perjuangan orang-orang di sekitar kami untuk menyambung hidup.

Sementara kita sibuk memilih pembalut mahal terbaru dengan teknologi anti kerut mutakhir, mereka mungkin hanya berpikir makan apa hari ini. Saat kita mengeluh betapa membosankannya pekerjaan di kantor, mereka menyambut setiap malam dengan sejumput harapan di laut lepas. Saat kita terlelap di balik selimut hangat, mereka mengarungi lautan bebas dalam kegelapan malam, diombang-ambingkan ombak yang tak segan menghempas.

Nelayan, penjual cilok dan penjaga toilet ini tak sendiri. Banyak orang yang bergeliat di gelap malam hingga dini hari, seperti yang pernah saya ceritakan mengenai para penggiat dini hari di sudut Surabaya. Hanya saja terkadang kita terlalu pongah untuk sekedar mengingat, bahwa hidup ini bukan melulu tentang kita.

Leave a comment